Aku dan Ayahku

Tag

Waktu menunjuk pukul 03.00 sore….

Aku di atas Kereta Api Pramex arah Jogja, dari Solo. Kereta penghubung antarkota jarak pendek yang sangat diminati. Bagaimana tidak? Sekian lama aku menjadi penumpang setia Pramex, jarang sekali aku mendapatkan jatah tempat duduk. Selalu saja penuh.

Dan tak ada gunanya mengeluh, lantaran separah-parahnya Pramex, moda transportasi ini masih lebih baik, bila dibandingkan bus atau mengendarai kendaraan pribadi. Perjalanan hanya ditempuh selama satu jam, berbeda dengan bus atau kendaraan pribadi yang bisa dua kali lipat lamanya.

Seperti biasa, bersama sebagian penumpang lain, aku duduk di lantai Pramex. Berdekatan dengan pintu, agar mudah saat keluar dari kereta. Sungguh tak nyaman.

Tak jauh dari tempat aku duduk, seorang Bapak, sepuluh tahunan lebih tua dariku, bersama anak laki-lakinya. Usia sang anak sekitar lima tahun. Tampaknya, mereka bukan penumpang kronis, sepertiku. Kalau tak sesekali pernah menumpang Pramex, bisa jadi mereka terpaksa memilih Pramex, lantaran kendala teknis, seperti penjemputan bermasalah, atau perjalanan mereka yang menemui hambatan.

“Yah, itu namanya apa?” tanya si anak, menunjuk rel yang melintang bersebelahan.

“Itu namanya rel kereta api,” jawab si ayah dengan nada lembut.

“Kok panjang ya, Yah?”

“Iya. Soalnya, buat antar penumpang ke mana-mana.”

“Penumpangnya banyak ya, Yah?”

“Iya. Kan dari mana-mana.”

“Kalau penumpangnya banyak, keretanya jadi berat ya, Yah.”

Aku tersenyum. Pembicaraan anak dan ayah itu seperti menyeka keringatku yang deras mengalir di tubuhku, lantaran sesaknya kereta. Sejuk rasanya melihat paras si anak yang tak takut sedikit pun untuk tahu lebih banyak. Tentang apa pun.

Terasa nyaman hingga ke sanubari, melihat ayah dan anak yang akrab dan saling jujur. Suara berisik rel tertimpa roda kereta api, berderit bersama gerbong yang sebagian tak terurus, menguap bersama saujana persawahan hijau di luar kereta. Teduh.

Aku teringat Bapak. Seumur hidup, beliau tak pernah memarahiku. Ia selalu berbinar, setiap kali bertemu denganku, sejak aku belia, hingga uban telah merata di kepala beliau. Aku tak tahu persis, mengapa bisa begitu. Yang aku tahu, setiap kali bertemu dengan orang, ia terus mengenalkanku dan membanggakanku, dengan kepala tegak. Seperti tak ada jemunya.

Bapak menyapa orang lain dengan kalimat, “Ini jagoanku.” Bukan kebetulan—barangkali—kalau itu sepadan dengan kalimat orang-orang Barat yang suka menyebut anak laki-lakinya dengan ‘Tiger’. Selanjutnya, sangat gampang ditebak. Beliau pasti akan bercerita banyak tentang aku, seperti lupa bahwa ia pun memiliki kehidupan sendiri.

Aku tidak seperti si anak di kereta yang terus bertanya pada ayahnya. Sebab, sejak kecil, aku tahu, menanyakan sesuatu yang tidak diketahui Bapak, hanya akan membuatnya sedih. Ya, Bapak tak mengecap bangku sekolah sama sekali. Ia bahkan tak dapat membaca. Sejak kecil, ia hidup terlunta-lunta dari satu tempat ke tempat lain, hanya untuk makan dan mengisi hidup.

Meski begitu, sejak aku belum dapat membaca, beliau terus membawakan buku dan majalah bekas ke rumah. Entah apa maksudnya. Buku dan majalah itu terus menggunung, diikat rapi oleh Bapak. Maklum saja, Bapak tidak tahu cara merawat buku. Bila tahu, barangkali, ia akan membuat rak atau lemari khusus, agar buku lebih terawat.

Hingga saat aku dapat membaca, sebagian waktuku habis untuk melahap buku dan majalah bekas yang dikumpulkan Bapak. Saat aku tahu, Bapak tidak dapat membaca, aku tak pernah punya keinginan sedikit pun untuk menanyakan apa yang tidak aku mengerti dari bacaan yang ia kumpulkan itu kepada beliau.

“Besok kalau besar, kamu jadi Sarjana Pertambangan, ya? Gajinya 9,5 juta,” ujar Bapak suatu waktu.

Lebih mirip doa, sebenarnya. Ia mengucapkannya dengan tatapan yakin, tak ragu sedikit pun.

Waktu itu aku masih balita. Terang saja aku tak mengerti ucapan Bapak. Dan setelah bertahun kemudian, aku menjadi tahu, kalau Bapak juga tak begitu paham, apa itu Sarjana Pertambangan.

Namun jelas aku bisa menangkap keinginan luhur Bapak untuk menyekolahkanku setinggi yang ia mampu. Bagi beliau, tak penting apa arti Sarjana Pertambangan, atau angka 9,5 juta. Beliau hanya yakin, bahwa dengan memberikan pendidikan terbaik untuk anaknya adalah hal mulia yang harus ia perjuangkan mati-matian.

Bapak tengah merenda kehidupan lebih baik yang bertumpu padaku, dengan bekal pendidikan terbaik, yang akan ia upayakan. Cita-cita mulia yang beliau mulai dari setumpuk-dua tumpuk buku dan majalah bekas. Mimpi tentang pendidikan bermartabat yang bermula dengan sebutan ‘jagoan’ buatku.

Semua orang memiliki cerita sendiri tentang indahnya kebersamaan. Semua orang mengalami banyak hal menarik, yang sangat layak disampaikan kepada siapa pun. Sebab, terkadang, hanya tempat dan waktunya yang berbeda. Sementara kisahnya tak jauh berbeda. Tentang kesan pertama terbaik yang menginspirasi seumur hidup. Tentang perhatian sederhana yang dapat membentuk kesungguhan. Tentang berian tak tampak yang kemudian menjadi semangat tak berkesudahan untuk berbagi. Atau pun tentang yang lain.

Yogyakarta, 09 Januari 2013

Waktu dan Zaman

Tag

, , , , ,

BANDUL waktu menunjuk bulan Februari 2005…

Senja baru saja beranjak. Tampaknya, malam ini akan bertambah berat. Ya, aku masih saja kelu. Sudah hampir tiga bulan ini, Konfercab IV HMI Cabang Sukoharjo tak kunjung usai. Jeda pikirku sudah tak mampu lagi menoleransikan semua ini. Keterlambatan forum, dialektika yang tak fokus, intrik-intrik sampah, dan sederet kenyataan pahit tentang mentalitas komunitasku yang tak juga berubah memaksaku untuk nekat, agar penderitaan segera berakhir.

Setelah berlama-lama dengan bentukan prasangkaku yang tak berkesudahan, aku memutuskan untuk bertemu Anto, Mantan Ketua Umum HMI Psikofar.

“Bos, bisa ketemu Anto, ngga?” pintaku agak hambar. Aku sambangi Anto di Sanggar Teater Ayat. Kabarnya, ia turut dalam pementasan mereka beberapa hari lagi. Hingga hari ini, ia masih dikarantina. Agar bisa mendalami peran, kata mereka.

“Oh, bentar. Saya tanya ke sutradara dulu. Antonya baru makan,” jawabnya agak khawatir. Maklum, pada situasi seperti ini, sutradaralah yang punya hak atas semua kru pendukung.

Sejurus kemudian…

“Eh, Rif. Ada apa nih? Gue baru makan,” sapa Anto singkat. Mulutnya penuh makanan yang belum tuntas dikunyah.

“Aku mau ngomongin Konfercab,” jelasku langsung ke persoalan. Aku tersenyum sekenanya, takut merusak suasana.

“Oke. Kita ke warung makan depan kampus aja.”

Tanpa banyak negoisasi, beberapa menit setelahnya, aku dan Anto sudah berhadap-hadapan.

“Kamu bisa nyalon jadi kandidat buat nyaingin Suroso, ngga?” ujarku membuka pembicaraan.

“Emang, kalo elo yang maju knapa?”

“Wah…. To, HMI kita ini udah keliwat politis. Aku mikir, kalo kita masih terus-terusan pake pola yang lama, nge-geng sana nge-geng sini, selamanya kita ngga bakal bisa solid.”

“Maksud lo?”

“Anak-anak masih fanatik aja sama kelompoknya. Mereka susah kalo diajak mikir bareng-bareng. Kalo Konfercab cuma buat melanggengkan pengotak-kotakan ini, aku sama sekali ngga tertarik.”

“Trus, apa hubungannya sama pencalonan gue?”

“Kamu kan agak free. Semisal dibilang masih turunan AD II, Psikofar tetep beda. Artinya, kamu relatif dipercaya ketimbang yang laen. Maksudku, biar kita bisa damai, trus Sukoharjo bisa kompak. Dari dulu, mereka bisanya cuma dukung-mendukung saling ngalahin, tapi ngga ada kontribusi positifnya.”

“Elo-nya mau ke mana?”

“Aku di LPL aja. Aku mau buktiin ke publik, kalo Cabang itu bukan institusi suci. Kalo HMI bisa hargai LPL, perkaderan bisa berimbang. Ngga ngintrik aja kerjaannya.”

“Eh, Rif. Gue kasih tau elo ya. Oke. Elo emang bisa deskripsiin Konfercab di mata gue jadi ranum. Tapi, elo pikir, gue mau nyari apa di Cabang? Sekarang, HMI udah busuk. Semisal mau nyari duit, HMI udah ngga bisa ngasih. Semisal, biar terkenal, HMI juga ngga dilirik lagi. Gue cuma bakal pusing terus-terusan ngurusin kader-kader ngga jelas itu. Trus, kalo semua waktu gue abis buat sesuatu yang ngga ada manfaatnya, gue mo ngomong apa di depan emak gue?”

Aku tercekat. Kali ini, Anto serius. Dia tahu, kalau ia sedang dituntut untuk segera menyelesaikan persoalan. Tapi, ia juga tengah mempersoalkan kondisi komunitas ini. Ia belum yakin, apa HMI memang masih layak dipertahankan sebagai organ mahasiswa berbasis nilai yang full misi suci seperti keislaman, kemahasiswaan, dan keindonesiaan.

Sebenarnya, ia tak jauh berbeda denganku. Baginya, memimpin Cabang bukan pilihan tepat. Ia juga ingin bicara bahwa HMI sudah tak pantas lagi dijadikan wadah perkaderan generasi Islam. Ia hanya tertarik berdiskusi dan turut memikirkan kondisi kaum mustadhafin yang sering digerus kezaliman penguasa daripada berhadapan dengan orang-orang oportunis yang hanya bisa memanfaatkan keringat kader-kadernya.

***

Beberapa bulan pasca itu….

Ternyata, Anto memilih untuk bergabung dengan kepengurusan Cabang sebagai Ketua Bidang Pembinaan Anggota. Tentu, ini formasi yang menjanjikan. Suroso bisa terpilih sebagai Ketua Umum Cabang tanpa sengketa yang berarti, Anto memandegai perkaderan, dan aku bercokol di LPL sebagai penerjemah ide-ide perkaderannya. Artinya, konflik laten yang selama ini sering dirasakan dengan mengatasnamakan kelompok tertentu bisa usai dengan memberikan kesempatan pada Suroso, bahkan tanpa dukungan. Andai persaingan masih ada, tarik-menarik dukungan terhadap kepengurusan baru akan terus terjadi seperti yang sudah-sudah. Maklum, dulu, bila kelompok yang kalah tidak diakomodasi di kepengurusan Cabang, mereka memilih untuk mundur dari kepengurusan. Legitimasi yang dikebiri ini tentu sangat mengerikan. Pasalnya, Cabang Sukoharjo bukan hanya milik kelompok tertentu.

Di sisi lain, lantaran terhitung orang kuat, Anto akan sangat disegani. Bidang PA akan menjadi rujukan bagi aktivitas organisasi. Tren akan dikuasai oleh mainstream intelektualitas dan keislaman. Ditambah dengan posisiku di LPL, akan mengukuhkan formasi ini sebagai solusi terbaik pada waktu itu. Bahasa politiknya, perkaderan bisa menang, meski hanya untuk satu periode.

Siapa sangka, kalau pergerakan HMI periode 2005/2006 adalah buah karya orang-orang seperti Anto yang tak pernah mau memperlihatkan kedigdayaannya di depan publik. Namanya memang tak tertulis di release koran. Ia juga tak pernah memimpin aksi demonstrasi. Ia mahasiswa yang bisa berdamai dengan tanggung jawab akademisnya. Semua tahu, IPK-nya lebih dari cukup, buat nongkrong S2 di Melbourne, Coppenhagen, atau setidaknya Kebangsaan Malaysia. Kader HMI Cabang Sukoharjo tahu kalau mereka perlu bersatu dan kritis terhadap kondisi. Ini sebuah reputasi ideologis bentukan perkaderan internal HMI. Anto-lah aktor kuatnya.

Kala itu, HMI Sukoharjo memiliki Senior Course terbanyak se-Jateng-DIY. Kala itu, LPL terbentuk setelah mati lebih dari dua tahun. Kala itu, tim ideologi lahir untuk merekonstruksi buah pikir pemikir-pemikir Muslim. Kala itu, ada Cabang Award; penghargaan terhadap pihak-pihak yang berprestasi. Kala itu, semua administrasi kaderisasi menemukan pawangnya. Tentu, ini prestasi yang mengagumkan. Bersama rekan-rekan yang lain, Anto ingin menegaskan kepada publik untuk menghargai diri sendiri—bahwa kita memang bisa berarti—tanpa harus nangkring menjadi Ketua Umum Cabang.

Anto memang tak pernah muluk-muluk. Dulu, waktu Komisariat AD II hendak melahirkan Psikofar, ia hanya tersenyum simpul waktu aku teriak, “Saatnya merdeka.” Saat para pengurus pertamanya enggan bertandang ke komisariat, ia nekat tidur sendirian di sana. Bahkan, ia pernah bangga berujar padaku bahwa malam Minggu adalah waktu yang oke buat membaca. Kalau aku datang padanya menawarkan banyak hal, ia paling doyan bilang, “Terserah Elo, Rif. Gue percaya aja.” Hmm.. kepribadian simpel di mataku.

Ia sangat menghargai privasi. Baginya, kebebasan individu untuk bersikap harus dihargai, bahkan saat ia ingin sendirian; mengunci diri di kamar. Tapi, saat ia pamitan di Konfercab V, ia berkhotbah kalau kader HMI harus integrated. Artinya, ia tak menyetujui pola-pola kader HMI yang sering memisahkan antara kepentingan pribadi dan organisasi. Ia tengah membicarakan paradoksi di HMI. Ia tak ingin, kalau HMI hanya diisi orang-orang yang pandai bicara moralitas, sedangkan pada praktik kesehariannya, mereka justru tak bermoral.

Pidatonya di pelantikan Psikofar lebih spektakuler lagi: “HMI adalah komunitas pinggiran yang menggelisahkan penguasa. Sekretariatnya berada di pinggir-pinggir kampus, menandakan kalau ia bukan penduduk kampus, tapi sangat berkepentingan terhadap kampus. Bila kampus tak memerankan tanggung jawab sebagaimana mestinya, ia harus siap-siap berhadapan dengan HMI. Kader HMI harus tahu apa yang akan ia perbuat. Artinya, ia harus sadar mengapa ia ada di sini, dan tahu akan menjadi apa di HMI. Kalau tertarik marxisme, jadilah Marxis yang baik. Kalau menyukai Freud, jadilah Freudian yang gigih. Kalau berniat menjadi insan kamil, jadilah generasi Muslim yang tangguh.”

Terakhir, ia berpesan padaku, “Elitisme, mementingkan diri sendiri, dan pola-pola manja harus dienyahkan dari Psikofar.”

***

Ah, sudahlah. Anto hanya kilasan sejarah yang tak akan pernah kembali. Ia juga bukan manusia yang tanpa cacat. Di masanya, ia rela bersekutu dengan Marlboro, meski kita sering berbicara tentang penjajahan neoliberalisme. Ia bangga dengan reputasi Bettencourt—gitaris band heavy metal, Extreme—meski kita sering menyisir autentisitas pemikir negeri ini. Habermas, Iqbal, Plotinus menjadi akrab di telinga kader-kadernya, meski ia perlu untuk menjura di depan pengurusnya tentang Psikofar yang tak berarti apa-apa tanpa kepercayaan diri mereka untuk mengaku sebagai pengurusnya. Ya, kapasitas intelektual Anto tak sebanding dengan kemampuannya untuk menjadi sosok yang layak dipercaya sebagai pemimpin.

Artinya, kalau aku berharap, Anto-Anto baru akan muncul di sini, aku telah berubah menjadi ‘fundamental’. Aku ahistoris. Sebab, sejarah tidak akan bisa terulang persis. Hidup akan terus dinamis dan membutuhkan tafsir serta eksekusi yang berbeda. Semua zaman memiliki pahlawan dan setiap generasi memiliki ego yang harus diperjuangkan. Sederhana saja, mereka ingin menjadi apa di HMI, dan ingin menjadi apa kelak? Ya, Just to be. ***

Kasih Itu Tak Sulit

Tag

, , , , , , , , ,

Beberapa kawan perempuanku pernah bilang kalau aku adalah orang yang enak dijadikan teman, tapi menjadi tak enak kalau harus dimiliki. Apa maksudnya? Enak… emang makanan? Tanpa ampun mereka menghadiahiku banyak cercaan mengenaskan. Katanya, aku adalah teman bicara yang baik, tapi sulit dimengerti. Katanya, aku menenangkan, tapi tak pernah bisa ambil sikap. Katanya, banyak orang yang betah bersamaku, tapi terlalu idealis untuk orang yang rileks. Katanya, aku pandai bercerita, tapi terlalu melangit.

Duh, apanya yang bagus kalau begitu? Lhah, berarti, aku mirip internet yang bisa dicurhati tiap saat tentang apa pun tapi tak pernah bisa menyentuh si user. Berarti, aku mirip tokoh kartun yang dikangeni banyak orang, tapi dia tak nyata. Berarti, aku mirip jarum pentul yang banyak diperlukan orang, tapi mereka lupa tempat menaruhnya. Berarti, aku mirip teleskop yang bisa digunakan melihat banyak hal, tapi tak bisa berguna untuk hal-hal yang lebih kecil.

Parahnya, aku bukan Einstein yang sulit ditandingi jatah fisikanya. Aku bukan Bill Gates yang yakin bahwa kode-kode membingungkan komputernya dapat menyenangkan banyak orang. Aku bukan Tohpati yang sederhana tapi jago gitar. Aku bukan pula Cak Nur yang dihujat banyak orang, tapi dicintai keluarga dan dihormati banyak pemikir. Aku bukan Soeroso yang tinggi badannya, tapi mirip orang yang kurang makan.

Kesimpulannya, sebenarnya, aku tanggung-tanggung saja menjadi manusia. Aku tak besar, tapi katanya, aku tak pernah mau dianggap kecil. Aku tak berjasa, tapi tak pernah mau dinilai bodoh. Aku tak terkenal, tapi tak pernah sudi under estimate. Aku tak banyak mengerti, tapi ngeri kalau harus dibilang telat mikir. Aku bukan pejuang kemanusiaan, tapi merasa aneh kalau tak banyak berbuat.

Sesuai sunatullah, orang baik hanya untuk orang yang baik. Maksudnya, orang tanggung juga untuk orang yang tanggung. Tentu, semua ini bukan keniscayaan absolut. Ada tempat dan waktu bagiku untuk terus lebih baik. Tapi setidaknya, aku tengah sadar sepenuhnya, berada di tahapan mana saat ini. Semua menjadi tanggung karena aku menganggapnya tanggung, bukan karena didukung orang-orang berprestasi ‘tanggung’ di sekitarku. Bagiku, ini hanya tentangku, bukan orang-orang di sekitarku. Lagi pula, aku tak berhak menilai mereka sebagai orang yang ‘tanggung’.

Sebelum Linkin Park besar, Chester Bennington, lead vocal-nya, memutuskan untuk menikah. Karena tak punya uang sedikit pun, ia hanya bisa memahari istrinya dengan gambar tato yang sama di tubuh masing-masing. Armand Maulana menikahi Dewi Gita pada umur 22 tahun.

Amien Rais harus menunggu kelahiran anak pertamanya dalam rentang masa yang sangat lama. Ia terus berikhtiar, hingga buah hatinya pun lahir. Bill Clinton merasa, istrinyalah tokoh penting di balik kesuksesan dia. Tanpa Hillary, Clinton merasa bukan apa-apa. Setelah berpuluh tahun, kebesaran Bon Jovi ternyata beriring dengan harmonisnya rumah tangga vokalis ganteng dengan jutaan fans itu.

Leo Tolstoy baru belajar untuk naik sepeda ketika usianya telah mencapai kepala enam. Pakar pendidikan penting ini bahkan mewasiatkan seluruh harta yang ia miliki bagi masyarakat di sekitarnya. Hatta tak sempat membeli sepatu yang ia idam-idamkan, bahkan hingga ia wafat. Catatan hariannya berujar tentang perlunya memikirkan banyak hal, ketimbang hanya persoalan sepatu, yang meski sebenarnya sangat ia sukai dan ingini.

Jutaan data mengabarkan padaku tentang indahnya kasih, bukan hanya kekurangan yang selama ini menyiksaku. Semua itu mengajarkan kejelian baru dalam hidup, yang tidak melulu harus dimaknai negatif. Aku bukan memisahkan indah dan buruk, karena tak mungkin dunia hanya berisi salah satunya. Aku ingin merasakan ‘keseimbangan’ yang selama ini kumaksud, tapi tak dapat kuraih dan rasakan.

Aku sulit bercerita tentang kasih, lantaran ia sangat mudah dirasakan. Aku sulit mengetengahkan efek dari kasih, karena semua tak akan dapat mewakili apa yang kumaksud. Aku sulit berpolemik tentang kasih, karena ia hanya bisa didamba, dihayati, dan dipraktikkan. Semua hanya tentang mengerti dan berbagi. Semua hanya tentang bersama dan percaya. Semua hanya tentang mengisi dan diisi. Semua hanya tentang ingin dan diingini. Semua hanya tentang….

Sebab, kasih memang bukan perkara sulit. Ya, kasih itu tak sulit.

Katakan Saja

Tag

, , , ,

Konon, Sigmund Freud, kakek moyang psikoanalisis, menyisakan pertanyaan yang tak pernah bisa ia ungkap semasa hidupnya. Hingga meninggal, ia tak pernah tahu apa yang sebenarnya diinginkan kaum perempuan. Bagaimana mungkin, tokoh yang sangat menjunjung tinggi ekspresi libido itu justru harus banyak berpikir tentang keinginan perempuan? Bukankah dengan banyak ekspresi, keinginan untuk mengetahui semua seluk beluk perempuan akan dapat ia ketahui?

Keterbukaan ternyata bukan hanya perkara ‘menyampaikan’. Selain penyampaian juga bukan satu-satunya hal yang dapat dipilih untuk berkomunikasi, dalam melakukan penyampaian juga dibutuhkan standar khusus. Gaya ekspresifku akan bungkam saat mimik teman bicaraku justru malahan canggung. Komentar balikku tiba-tiba menurun ketika banyak orang yang tak suka. Bahasa tubuhku akan aku simpan pada waktu semua orang seperti tengah memaksaku untuk diam.

Setelah 30 tahun, data CIA baru dibongkar dan dibeberkan ke publik luas. Aturan ini untuk menunjukkan prestasi agen rahasia itu dalam bekerja, meski dalam tempo yang sangat lama. Sebagai data base penting, tak mungkin semua rahasia itu disampaikan kepada khalayak ketika peristiwa yang dimaksud baru saja terjadi. Selain dianggap ceroboh dengan membuka rahasia sebelum waktunya, langkah-langkah mereka untuk menyelesaikan persoalan juga akan semakin terbaca. Pola ini jelas model komunikasi yang terencana. Di sana ada cara yang mensyaratkan hal berbeda, bukan hanya pesannya.

Seseorang terkadang lebih menyukai masa lalu ketimbang masa kini, atau masa depan yang masih suram. Ia beranggapan, masa terbaiknya adalah masa yang tak pernah ia masuki lagi. Bagi mereka, di sana ada kesempurnaan persepsi karena tak dapat mereka jalani kembali. Momentum masa lalu menjadi sangat indah dan berkesan, hanya karena ia telah terjadi. Ketidakmampuan manusia untuk kembali di zaman itu memaksa mereka untuk semakin merindukan semuanya. Jadi, membicarakan masa lalu tentu lebih menenangkan ketimbang berspekulasi tentang banyak hal di masa depan.

Berkata juga hal sulit. Coppernicus tewas dieksekusi mati oleh Vatikan karena menyatakan bahwa bumi itu bulat, bukan datar seperti yang tercantum dalam Bibel. Al-Hallaj dilempari batu hingga mati karena mengatakan penyatuan dirinya dengan Allah. Widji Thukul, seorang penyair miskin dari Solo, yang menyatakan akan hancurnya kekuasaan Orba dalam waktu singkat menjelang 1998, hilang tak ada rimbanya. Beberapa orang yakin, ia diculik dan dibunuh penguasa.

Setiap masa dipenuhi bermacam perkataan yang kejam dan membahagiakan; yang sedih dan menyenangkan; yang absurd dan sangat terang-benderang. Apa pun itu, berkata-kata tentu adalah hal penting. Perkara bahwa menyampaikan perkataan mesti menggunakan banyak cara, itu hal lain. Pada prinsipnya, menyampaikan keinginan tetap saja merupakan syarat final kebebasan fitrah manusia.

Aku memang sangat suka mengira-ngira, tapi saat semua kalkulasiku buntu, aku akan mengaku, bahwa semua ini tak pernah aku mengerti. Aku memang lebih suka bahasa tubuh, ketimbang obral bicara yang tak banyak hikmah, tapi saat prasangkaku tak menemukan wadahnya, aku semakin tak tentu arah. Banyak juga kesalahan dalam hidupku yang lahir dari kira-kira tak akuratku itu.

Aku mendamba keterbukaan, tapi hanya untukku. Aku tak malu untuk bicarakan banyak hal, bila semua memang hanya untukku. Sedikit narsis, menginginkan kemengertian yang sangat, dan mengigaukan perhatian khusus. Aku melirik realitas dengan ketegaranku akan keterbukaan, yang terkadang tak terlalu aku suka. Ia menata hidupku lebih terarah, meski banyak hal tak dapat aku raih. Pastinya, berkata lebih aku nantikan… bila hanya untukku, dan meski mungkin, tak terlalu nyaman untukku.

Unconditionally

Tag

Kalau Jepang harus menyerah tanpa syarat kepada sekutu, karena Hiroshima dan Nagasaki telah luluh lantak, tentu bukan perkara sulit. Meski Indonesia telanjur mendamba kemerdekaan pemberian ‘saudara tua’ atas nama Pan Asia, juga dengan jutaan rakyat yang disiksa karena romusha, berbagai tempat di negeri ini justru menyatakan perang terbuka pada penjajah Jepang. Bagi beberapa kalangan, Jepang tetaplah penjajah kejam yang telah menyengsarakan rakyat banyak. Belum lagi, tentang cerita mengerikan para mantan ‘budak seks’ tentara Jepang yang baru direspons pemerintah Jepang belakangan ini, dengan menyampaikan maaf sebesar-besarnya. Dengan tekanan publik internasional, tentunya.

Kalau Abdurrahman bin Auf memberikan banyak hartanya tanpa syarat untuk kejayaan Islam, tentu bukan hal sulit. Pada level ini, sahabat Nabi tersebut, memang telah tertempa bermacam siraman ruhani mumpuni dan jauh dari campur tangan politik kotor yang justru menenggelamkan Islam pada kondisi mengenaskan. Meski tidak menomorduakan kedermawanan itu, bagiku, Nabi yang masih hidup ketika itu tetap layak dianggap sebagai anugerah yang tiada terkira; faktor penting mengapa banyak orang baik.

Kalau ibu mengasuh anaknya tanpa syarat, tentu bukan wacana baru. Jutaan pengabdian sang anak padanya, tak akan dapat membayar setiap tetes darah yang pernah ia jaga untuk membesarkan buah hatinya. Tak ada alasan untuk meniadakan peran ibu sebagai sebab lahirnya seseorang ke dunia ini. Andai seseorang mengingkari ibunya, sama saja dengan ingkar pada sebab utama; Tuhan.

Kasih ibu kepada beta

tak terhingga sepanjang masa

Hanya memberi tak tak harap kembali

Bagai sang surya menyinari dunia

Kalau banyak orang miskin di negeri ini yang ternyata justru lebih dermawan, tentu bukan hal aneh. Bagaimana ia tak ringan tangan, bila setiap harinya, ia juga selalu kesusahan? Serba kekurangan membuat mereka berada pada titik suci pemberi sesama, dengan satu kelebihan ekstra. Ya, memberi tanpa syarat apa pun. Bangsa ini sebenarnya bukan bangsa yang rakus, bila tak dikuasai oleh orang-orang yang serakah. Dedikasi mereka bukan paksaan, tapi penuh keridhaan. Semua hal dapat diselesaikan dengan mudah dan cepat bila menempatkan kebersamaan pada tempatnya.

Bagiku, hidup yang penuh dengan ‘tanpa syarat’ justru menghilangkan banyak tendensi menyiksa. Bukan tak mungkin, semua keragu-raguan itu justru berubah menjadi mesin pembunuh efektif jiwa dan raga manusia, tanpa sempat untuk dipikirkan sebelumnya. Semua hal menjadi ringan dengan kenikmatan pengadaan sesuatu yang tanpa syarat. Memberi tentu membuat seseorang semakin merasa kuat dalam hidup, lantaran dapat menjadi arti bagi orang lain. Keuntungan ini tak lagi dapat terukur. Bahkan, tak dapat ditukar dengan apa pun. Sampai kapan pun, spirit untuk terus bertahan, jelas lebih penting daripada metode untuk bertahan. Tanpa semangat untuk melaju, serba-serbi dunia hanya tampak sementara dan tidak layak disandari banyak harapan.

Pola tanpa syarat juga memberi arti dinamisasi yang kental. Dengan tanpa syarat, seseorang akan terus menciptakan kreasi, tanpa terlalu menengok dan menghitung masa lalu. Karena ia tidak terlalu berkepentingan pada masa lalu (apa yang telah ia perbuat), ia tidak akan merasa terbebani untuk mengarungi masa depan. Maksudnya, orang yang berpikir tanpa syarat akan lebih siap berhadapan dengan hal-hal baru. Ia akan menikmati perubahan dengan caranya sendiri.

Tanpa syarat sama dengan mengabdi. Abdi itu budak. Budak tentu hanya berkepentingan melayani, tanpa terlalu mempersoalkan tuntutan. Setiap kali seseorang berparadigma tanpa syarat, ia akan melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati, lantaran ia tidak terlalu banyak berhitung. Setelahnya, bila gagal, ia juga dengan proporsional menghadapinya. Wajar saja, sebab mental tanpa syarat akan berefek pada pemahaman, bahwa semua ini memang telah waktunya terjadi.

Keberhasilan seseorang untuk berperan tanpa syarat sangat dekat dengan berserah diri kepada Allah. Tak peduli pada timbal balik justru memberi peluang tawakal yang tak terkira. Seseorang akan tenang menjalani hidup, tanpa beban pikiran yang terus mengejarnya, karena salah kira atau salah tebak. Hidup menjadi sederhana, meski dengan kompleksitas yang sangat. Sekali lagi, ia telah waktunya terjadi.

Terakhir, pola tanpa syarat akan menggiring seseorang pada keikhlasan. Hidup jelas tak mungkin bebas nilai. Maksudnya, semua telaah tentang hidup yang tanpa syarat tetap saja akan bermuara pada kepentingan: ridha-Nya. Kepentingan pada Tuhan tentu berbeda dengan kepentingan atas apa pun selain-Nya. Dialah yang layak disandari kepentingan dan nilai. Ya, tanpa syarat… unconditionally.

Selalu Ada

Tag

, , , ,

Seumur hidup, keluargaku tak pernah berkumpul di satu tempat, lebih dari sebulan. Aku terbiasa dengan kesebentaran yang tak bisa lagi ditolak. Wajar saja kalau kemudian, terlalu banyak standar di kepalaku. Sebab, dari dulu, tak pernah ada pesan moral yang merapat di cara hidupku. Kalaupun melintas, tensi dan durasinya terlalu singkat; berbeda dengan kawan curhatku yang pandai mengatur suasana hatiku; berbeda dengan guru ngajiku yang berjasa memberiku bekal berislam; berbeda dengan guru SD dan SMP-ku yang rela memprivatku, tanpa bayaran khusus.

Kelas V SD, aku mulai suka perempuan. Sewaktu itu pula, aku telah dapat merasakan indahnya lantunan Said I Love You But I Lied-nya Michael Bolton, tak seperti anak-anak lain yang lebih suka main kelereng atau petak umpet. Rekaman video klip yang penuh api dan kuda berlari itu terus aku ingat hingga kini. Setelah besar, aku baru tahu, kalau lagu itu memang masterpiece.

Aku juga telah suka menulis dan membaca. Surat menyurat sahabat pena juga aku pilih sebagai identitas ningrat. Imajinasiku tertata rapi, dan aku telah memiliki dunia ideal yang dari dulu memang aku damba-dambakan. Dunia yang kumaksud bukan dunia materi atau identitas yang merepotkan itu, tapi dunia tempat di mana aku selalu merasa dipenuhi jiwa petualanganku; tanpa ada hambatan sedikit pun.

Pada masa SMP, aku telah akrab dengan band-band gila-cerdas seperti Nirvana, Smashing Pumpkins, atau Chemical Brothers. Bagiku, mereka tampak berbeda dari yang lain, dan aku menyukainya. Jelas aku tak bisa turut bernyanyi bersama mereka, lantaran kursus Inggris yang hanya ada di kota-kota besar. Hidup di kampung juga tak memberiku ruang untuk membicarakan semua ini kepada orang lain. Praktis, aku memilih untuk berdiam diri dan menikmati semuanya dengan sedikit yang kutahu.

Sinetron Jepang Tokyo Love Story dan The Ordinary People juga memberiku kesan kuat tentang bagaimana tepatnya memandang lawan jenis. Rika Akana yang mandiri atau Narumi yang dewasa membawaku pada persepsi tentang perlunya aku pada perempuan yang matang. Hasilnya, selama itu, aku tak terlalu tertarik dengan cewe-cewe keren yang lebih memilih rileks dalam menjalani hidup.

Semasa SMA, aku benar-benar drop. Tiga tahun yang buruk, dan menyisakan kengerianku akan inferioritas peran. Waktu itu, aku doyan berkongsi dengan banyak orang sekadar untuk mengingini identitas. Sepertinya, aku tak percaya diri pada karakterku yang pernah aku pegangi hampir 10 tahun sebelumnya. Aku sangat terpengaruh cara pandang banyak orang, dan melupakan dunia ideal yang pernah aku maui. Entah apa yang telah kuperbuat selama itu.

Aku bukan jagoan, tapi aku pernah juga tawuran. Aku bukan yang paling pintar, tapi banyak anak yang berharap pada jawaban ujianku setiap kali mata pelajaran bahasa Inggris digelar. Aku tak terlalu terkenal, tapi semua dedengkot sekolahan pasti mengenalku. Aku bukan playboy, tapi aku pernah jibakui cewe yang aku taksir, sampai harus bergulung-gulung di aspal hot mix alias kecelakaan sepeda motor. Parahnya, belum lagi aku tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi, ia telah berbonceng ria dengan cowo yang tentu, jauh lebih keren dariku.

Sebenarnya, semasa SMA, aku telah banyak menulis. Tapi, aku hanya bisa mengirim banyak cerpenku ke MOP yang dusun itu. Sisanya, masih aku simpan sampai sekarang. Bagus juga. Setidaknya, dalam semua keterpinggiranku atas apa pun, aku masih sempat untuk membangun dunia idealku dengan tulisan. Barangkali, karena tulisan itu pulalah, aku masih dapat menatap indahnya dunia, hingga kini.

Kuliah sedikit menyembuhkan banyak penyakitku di masa lalu. Filsafat, tulisan, politik, koloni, dan sederet wacana sakti membangun pencitraan khusus atasku. Aku pernah terlena, naik daun, terjatuh, tidak disukai, diancam, dicintai, dirindukan, ditinggalkan, ditipu, dikhianati, dikerdilkan, dicampakkan, dipuji, dimaki, dikesampingkan, diagung-agungkan, dikeramatkan, direndahkan, dan didoakan.

Selama itu pula, aku hanya punya buku untuk ditulisi, komputer untuk dicurhati, beberapa kawan untuk ditumpahi persoalan, dan… Tuhan. Ibuku terlalu karismatis untuk kuadui banyak keluhan, meski aku tak pernah canggung untuk memeluk atau menciumnya. Saudaraku terlalu sayang untuk kuratapi banyak hal, meski aku selalu luangkan banyak waktu untuk saling meledek kelemahan masing-masing. Simpel, aku punya kesendirian, tapi semua tim di sekitarku sangat tangguh. Barangkali, karena itu pula, aku lantas dapat bertahan di banyak tempat, tanpa mengurangi tensi harmonisku pada semua orang yang aku cintai.

Aku membutuhkan banyak hal. Aku merindukan banyak hal. Aku menuntut bermacam garansi hidup. Aku sangat mendamba kesempurnaan. Aku selalu merintis kemandirian pikir. Aku jelas menginginkan sandaran. Aku jelas menginginkan dukungan, dan pengingat sadarku yang harus tetap terjaga sampai kapan pun. Namun, aku hanya butuh kepercayaan dan kemengertian. Dua hal itu membuatku selalu ada di mana-mana. Keduanya juga kuingini selalu ada dalam hari-hari dan masa depanku, tanpa sedikit pun meninggalkanku.

Terima Kasih

Terima kasih. Tampaknya, ukiran kesalehan tak melulu tampak berapi-api dan memimpin. Setelah sekian lama aku menangisi peranku yang tak kunjung signifikan, aku kini merasa, semua akan baik-baik saja andai aku tak terlalu mempersoalkan semua hal yang selama ini aku anggap sebagai kekalahan… beruntun.

Sakit juga kalau semua hal harus dihitung. Kalau tak berakhir, berserah dirinya selalu saja datang terlambat. Rasionalisasi bahkan terlalu angkuh untuk menawarkan eksistensi bermanusia. Ia jelas bukan satu-satunya. Sebab, ada nurani, juga nafsu, yang sewaktu-waktu dapat dikomposisikan sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.

Terima kasih. Sepertinya, sematan kemanusiaan tak harus dengan berdirgahayu gagasan besar tentang dunia yang penuh dinamika. Aku bukan pasif, tapi aku tahu kapan harus aktif. Semua hal tampak tak terlalu penting dengan fokus yang lebih memberi arti. Selama ini, aku terlalu menginginkan banyak hal.

Satu-satu lebih menenteramkan, ketimbang beratus alasan untuk tidak melangkah. Keberanian bukan kenaifan, kalau saja dengan embel-embel empati yang cukup. Toh bila dilakukan dengan komunikasi yang baik, semua juga akan berhasil baik. Keberanian bukan berarti menurunkan prestise eksistensi.

Terima kasih. Dalam radius sekian, keterlambatan yang selalu aku maknai sebagai kepecundangan, pelan tapi pasti dapat aku kompromikan dengan sedikit dalih kebersamaan, yang ternyata, hampir saja aku takut, andai aku tak mampu. Menahan sakit karena kelebihsukaan yang terurai sangat lambat kemarin, memaksaku untuk terlalu tertutup dan doyan berbasa-basi.

Aku pun menjadi memilih senyum keapaadaan itu. Aku tak takut untuk mundur, atau maju. Aku menjadi sering termangu hanya mungkin, aku telah berani menatap jauh ke depan. Sepertinya, aku telah berani memadatkan waktu pada hitungan yang tak terlalu bertele-tele. Dunia sudah seharusnya dimaknai sebentar. Sulit rasanya kalau terus mendaku salah masa lalu pada salah masa kini, hingga tak lagi dapat berkesudahan.

Terima kasih. Keterusterangan yang ningrat tentang kasih, ternyata bukan hanya milik ibu kepada anaknya; guru pada muridnya; tapi juga milik semua orang. Semua tak terlalu sulit andai kedakuan akan kekurangan dapat ternganga sempurna. Sederhana saja, dunia memang untuk berbagi kekurangan; salah satunya.

Pemberian tak harus berarti kompensasi. Senyum tak berarti menyimpan mau. Hormat tak berarti lambat. Omel tak berarti buruk. Gagal tak berarti akhir dunia. Kurang tak berarti mundur. Sabar tak berarti kontra-revolusioner. Memilih tak berarti berkurang kadar universalitasnya. Dan berbagi tak berarti elitis.

Terima kasih. Aku mendadak sangat menikmati figur ideal tentang sesuatu, yang sebelumnya tak pernah berani aku jamah. Aku semakin blak-blakan kalau harus memaui sesuatu. Agak sentimentil, agak meradang, agak khawatir, agak berkelit, agak menjaga kesan, agak merinding; menempatkanku pada ranah baru tapi sebenarnya lama, tentang keberanian yang pernah aku punya.

Berharap tak selamanya bermakna setengah pecundang. Aku tak perlu sinis untuk berharap, jika semua hal dapat didudukkan pada porsinya yang tepat. Semisal, aku bisa saja berharap tentang dunia yang aku ingini, gaya hidup yang tak seperti orang-orang, cara bicara yang aku suka, cara gaul yang membuatku nyaman, dan… cara mengadu pada Allah yang aku pilih.

Terima kasih. Aku menjadi ramah pada komponen-komponen baru yang selama ini hanya aku tatapi keabsahannya. Aku menjadi semakin moderat karena dapat bersegera memberi ruang pada apa pun. Fundamentalis, eksistensialis, humanis, liberalis, bagiku hanya istilah penggampangan pikir bagi indahnya kebersamaan intelektual. Kenyataan ini sangat tak mungkin aku tapaki kalau saja aku masih ngeri dengan sesuatu yang menurutku aneh.

Terima kasih. Ya, terima kasih atas semua hal yang menurutku indah. Terima kasih atas semua hal yang tak pernah aku lakukan sebelumnya. Terima kasih atas banyak hal yang seharusnya membuatku belingsatan. Terima kasih atas kekuatan pikir yang semakin aneh, tapi aku betah dan sangat menyukainya. Terima kasih atas terima kasihnya. Terima kasih untuk semuanya….

Ridha

Tag

Sebetulnya, aku terlalu sering untuk tak sepakat pada sistem; apa pun. Pada level episteme, aku bukan termasuk orang yang gampang berkompromi. Apa pun motifnya, aku benar-benar tak menyukai kemapanan pikir, dominasi, atau penerimaan sesuatu yang apa adanya tanpa proses pemahaman memadai. Apalagi, menurutku, semua itu memang prinsip. Artinya, ia bukan kebutuhan lagi, tapi jalan hidup. Aku selalu merasa perlu untuk melawan, menyuguhkan antitesis, berkerling, skeptis, sedikit merendahkan, dan tentunya merasa superior.

Anggapanku, stabilitas selalu menyisakan kepicikan. Kreativitas menjadi mati dengan ‘selesainya’ hasrat pikir. Aku beranggapan bahwa lahirnya status quo adalah buah karya mental stabilitas; keinginan untuk selalu merasa cukup dan selesai. Padahal, tak ada yang pernah selesai di muka bumi ini, kecuali Tuhan.

Lebih jauh, mental ini lantas membuat seseorang untuk yakin dan berniat pada pengebirian kebebasan orang lain. Sebab, ia tak nyaman kalau terus-terusan dirongrong. Pada akhirnya, perbedaan pun dianggap sebagai sampah dan penyakit. Sepertinya, tak ada tempat untuk pluralitas, kemajemukan, perbedaan, heterogenitas, sikap berseberangan, dan kritisisme. Menurutku, pola ini sangat tidak manusiawi. Jelas tak ada kebebasan di sana. Bukankah manusia dilahirkan untuk bebas dengan segala fitrahnya? Tentu saja, yang kumaksud bukan bebas individual tanpa ketentuan. Tapi bebas untuk berkehendak apa pun sebagai fitrah.

Masalahnya, sering kali semuanya nihil. Aku terlalu jumawa dengan semua nilai yang aku yakini. Aku merasa nyaman dengan legitimasi moral yang hanya aku ciptakan sendiri. Aku sok moralis. Aku hanya sedang berdiplomasi; tak lebih. Ya, sekadar tampak sebagai muka pemberontak, tanpa cukup lisensi perlawanan. Standarnya pun masih simpang siur. Ya, sekadar berbeda.

Aku pun kadang terengah-engah dengan nafsu counter-ku yang susah untuk ditengarai motif ilmiahnya. Sekali lagi, kerendahan pemahamanku soal sistem sangat telak mengosongkanku. Aku seperti tampak kasat mata hanya saja tak benar-benar berarti. Semestinya, aku perlu meninggikan etos search engine-ku. Ya, biar semua kelakuanku bisa dipertanggungjawabkan.

Ternyata, tak semua orang bisa mendandani semua bingkai realitas yang aku bangun. Aku kesulitan menangkap kerja sama mereka hanya karena aku tak pernah bertanya, apakah mereka nyaman dengan semua ini. Pantas kan, kalau kemudian ada jarak komunikasi yang sulit untuk lumer, hanya karena kekhawatiran yang tak perlu? Wajar kan, kalau kemudian, semua selalu tampak dinamis di mataku tanpa ada wujud nyatanya? Semua indah, tapi aku tak pernah melihat bukti nyatanya.

Ridha memang perkara sulit. Ia dapat dimengerti, tapi sulit dijelaskan. Andai semua tak terjembatani, ridha menjadi hal penting untuk terus berbaik diri menjadi manusia. Andai semua tak sesuai yang diinginkan, ridha adalah pilihan bijak untuk berdamai dengan kenyataan. Ridha bukan tentang berbeda, juga bukan tentang identitas berbeda. Ridha mensyaratkan kesepakatan dan kemengertian yang luar biasa, meski dalam radius sekian, barangkali, tak akan banyak yang bisa diungkap tentang sesuatu.

Ridha bukan pula klaim sepihak. Aku tak dapat serta-merta berujar tentang pinta atau ingin yang sepertinya sangat aku tahu, padahal aku pun masih mengira-ngira maksud semua itu. Aku tak dapat menganggapnya semua wajar, kalau saja tak ada penjelas khusus tentang kewajaran itu. Artinya, ridha adalah pengakuan. Ia memberi peluang kebebasan, meski bahkan, rasio tak dapat menjawabnya. Ada ungkapan resmi tentang sesuatu, bukan hanya angan atau kira-kira semata.

Ridha berfinal pada kenyamanan, bukan ketidakterimaan yang tak berkesudahan. Walau sepintas tak banyak yang menyetujui sesuatu, ridha akan menjadi pra syarat penting untuk menyelesaikan persoalan. Berbagai kekhawatiran, ketidakpuasan, keinginan untuk marah, penuntutan, jelas bukan efek dari ridhanya seseorang. Kezaliman yang menumpuk menjadi dendam dan kezaliman lanjutan tentu bukan pula efek keridhaan.

Aku cukup wajar ketika harus mendahulukan semua hal pada koridor ridha. Sebab, andai barangkali, aku tak terlalu menyukai banyak hal, dengan ridha, kesalahan yang menurutku sangat telak akan dapat sedikit dinegoisasikan. Aku bukan meniadakan punishment, atau menganggap semua keburukan mesti diridhakan. Aku hanya berkeinginan, menyentuh masa depan dengan kekuatan ridha yang menurutku, akan bermuara pada keadilan.

Telah cukup banyak orang yang bertipikal kritis, tapi justru destruktif. Kalau tak berkenan menjadi agresor, mereka akan berubah menjadi destroyer. Parahnya, status ini sering naik pula menjadi predator. Agresor selalu bernafsu untuk menyerang, tanpa berpikir baik-buruk. Destroyer sangat berkeinginan menghancurkan orang lain, hanya karena dianggap rival yang kuat. Sedangkan predator muncul lantaran ia telah khawatir pada rongrongan orang lain. Apakah hidup seperti itu dapat dikatakan nyaman? Padahal, problem solver-lah yang dibutuhkan banyak orang. Intinya apa? Tawarannya apa? Maunya apa? That’s all.

Wisma Mumpuni

Tag

,

Ramadhan 1427 pukul 02.00 dini hari…

Aku pindahan kos. Semalam ini, aku bolak-balik entah berapa puluh kali. Setiap kali pindahan, aku baru sadar, kalau ternyata aset dan propertiku semakin bertambah banyak saja. Anehnya, aku tidak pernah mengenali barang-barang itu. Kaos itu… aku temukan di lemariku sewaktu masih kontrak bareng anak-anak Salman. Aku tak tahu, sebenarnya kaos siapa yang sering aku pakai ke mana-mana dengan PD itu. Parahnya, tak pernah ada yang pernah mau mengakui sebagai pemilik sahnya. Celana itu… aku temukan ada di lemari belakang sewaktu aku bercokol di Cabang. Anehnya, aku sering temukan setumpuk celana, tidak hanya satu.

Sepatu itu… jaket itu… tape itu… lukisan itu… buku itu… foto itu… lemari itu… kaset itu… rak buku itu… sprei itu… karpet itu… semuanya!

Praktis, setelah berpindah-pindah dari satu kos ke kos lain, lantaran aku sering kontrak rumah, barang-barang di kamarku tiba-tiba membludak drastis. Setiap ada yang bertandang, dan tak sempat membawa pakaian, pasti aku kasih. He he… aku tampak baik, padahal semua itu bukan punyaku. Aneh juga, kenapa banyak orang yang doyan menitipkan barang padaku, dan lupa mengambilnya kembali?

Aku baru ingat, selama ini, aku tak pernah sekalipun belanja pakaian. Sebesar ini, ibuku masih suka ribut kalau urusan baju. Segede ini, banyak orang yang suka menghadiahi aku pakaian dan makanan pantas pakai. Pfuh… mungkin, aku pantas mendapatkannya. Susah juga kalau mengelak. Apalagi, aku kan paling tak suka ganti-ganti baju. Capek nyucinya!

Sayangnya, tak ada orang yang pernah mau menitipkan padaku laptop kerennya, mobil, HP, LCD, modem, ISP, tiket beasiswa, formulir nikah, atau setidaknya, daftar orang baik. Seringnya, aku hanya temukan sepotong processor yang keren, tapi jelas tak berguna. Seringnya aku temukan casing HP yang jelas tak aku minati. Syukur-syukur, aku temukan buku kenangan atau buku telepon. Lumayan, aku bisa bergerilia kenalan, tanpa harus mengenal mereka terlebih dahulu. Sst… aku pernah mencobanya. Hasilnya, seorang janda muda beranak satu mulai memenuhi hari-hariku. Syukurlah, dengan sedikit keterangan, aku bisa menyelesaikannya. Setelahnya, aku superkapok.

Kos baruku berukuran besar. Meski demikian, tak banyak penghuninya. Ada dua pintu utama. Pertama, pintu khusus tuan rumah. Kedua, pintu garasi tempat keluar masuk penghuni kos. Garasinya besar. Aku bayangkan, tiga Pajero pun muat, dengan 10-an motor. Persis di samping garasi, ada kompleks I dengan empat kamar besar. Mungkin, lebih dari 5 x 3 meter. Banyak yang sudah berkeluarga. Rata-rata pasangan muda. Setiap kali melewatinya, aku pasti agak sungkan. Soalnya, mirip apartemen, dan risih juga kalau salah-salah lihat.

Kompleks I dibatasi oleh sumur dan kamar mandi yang juga berukuran besar. Jadi, setelah melewati garasi, ada pintu penghubung dan koridor yang lumayan jauh. Mungkin, 15 meteran. Apalagi, sekat itu memiliki dua pintu: masuk dan ke luar. Sumur menjadi tempat khusus di samping semua kompleks yang ada, tidak menjadi satu. Ada dua kamar mandi di depan dan empat sisanya di belakang. Kamar mandi ini juga tidak disatukan.

Memasuki kompleks II, tempatku, berderet kamar dengan format bangunan letter U. Empat kamar berderet di kanan dan kiri dan lima kamar menghadap pintu masuk. Di tengah letter, ditanami pohon pisang, rambutan, obat-obatan, plus tempat mencuci. Hanya empat kamar yang terisi. Nyaman sekali rasanya. Walau besar, tapi at home. Sedangkan kompleks III agak terpisah. Di sana, ada dua kamar dengan pintu khusus. Kompleks ini sudah agak lama kosong, tak berpenghuni.

Di kosku yang baru, cewe bukan muhrim tak boleh masuk, penghuni tak boleh gondrong, harus kumpulkan KTP, dan semua orang punya kunci khusus garasi. Baru kali ini aku punya kos serigid ini. Baiknya, semua jadi aman. Aku biasa meninggalkan kamar dengan kondisi masih acak-acakan, tanpa ada satu pun barang yang kemudian terdengar hilang. Semua penghuninya telah lulus kuliah, minus Kukuh. Jadi, benar-benar mirip apartemen. Serasa di Paris.

Dini hari itu, bersama Kukuh Wahyu Jumeneng, seorang kawan loyal, aku masih sibuk menata kardus-kardus dari garasi ke kamarku; berjarak lebih dari 30 meter. Aku ingat persis, malam itu juga, aku baru saja nikmati makian-makian seorang kawan yang menganggapku munafik. Ia begitu marah, waktu semua yang pernah aku katakan, tak berbanding lurus dengan kelakuanku, yang ternyata, sama binalnya. Bayangkan, badan secapek itu, pikiran selemah itu, ibadah Ramadhan yang belum tuntas, akhirnya memaksaku agak meratap. Huh, hari yang berat bagiku. Belum lagi, aku harus bangun pagi untuk Era Intermedia.

Gedebruk!!

Aku dan Kukuh saling pandang. Kukuh bergegas ke kompleks sumur. Aku mengikutinya. Ya Allah, ternyata…

Aku lihat ibu kos terkapar mengenaskan. Sepertinya, ubin yang ia lewati terlalu licin. Ya, ia terpeleset. Usianya lebih dari 70 tahun. Kudengar, ia merintih pelan, meminta padaku untuk membangunkan bapak kos. Sebenarnya, aku hendak membopongnya ke dalam rumah, tapi ia menolaknya. Ia hanya mau dibopong suaminya. Hem, iri juga rasanya. Sepintas kupandangi, meski telah keriput, ia masih tampak cantik. Saat kusentuh kulitnya, aku rasakan pengabdian yang sangat di masa lalu. Saksi tentang indah dan ngerinya dunia.

Aku berlari ke dalam rumah. Kubangunkan bapak kos segera. Dengan sedikit upaya, ibu kos pun telah berada di kamarnya. Tentu dengan berpayah-payah. Aku dan Kukuh hanya dapat membantu seperlunya. Ya, di rumah sebesar ini, mereka hanya berdua. Entah ke mana anak cucunya.

Aku termenung sesaat. Tapi, malam yang penat tak memberiku ruang untuk banyak berpikir. Sepertinya, Kukuh pun merasakan hal yang sama. Beberapa jam terakhir, aku tak banyak bicara. Benakku masih sibuk bertanya, mengapa malam ini terasa sangat berat.

Esok harinya, aku dengar, ibu kos masuk rumah sakit. Menurut bapak kos, beliau memang telah sering keluar masuk rumah sakit. Bahkan, telah puluhan tahun yang lalu. Bapak kos juga mengeluhkan biaya rumah sakit yang semakin mahal saja. Dan setelah beberapa hari, aku pikir, semua akan baik-baik saja. Ternyata, aku salah kira. Ternyata, ibu kos meninggal dunia.

Kali ini aku benar-benar termenung. Kenangan dini hari itu sangat kuat di kepalaku. Aku bisa merasakan kekuatan cinta aneh yang tak pernah terlintas di anganku sekalipun. Untuk ukuran pasangan selanjut itu, mengurus aset kos sebesar ini tentu bukan perkara gampang. Betapa hari-hari mereka memang habis diisi bersama-sama. Tak ada lagi keperkasaan fisik, tak ada lagi kegagahan masa lalu, tak ada lagi kejayaan identitas. Mereka hanya punya kebersamaan, untuk mengerti dan dimengerti. Apalagi kalau bukan cara mereka mensyukuri semuanya. Ya, aku suka cara mereka bersyukur.

Desaku yang Kucinta

Tag

Azan shalat Subuh terdengar sayup-sayup dari surau kecil di pinggir desa. Ukhti Khadijah bangun dan bergegas ke kamar kecil di belakang rumahnya. Maklumlah, di desa terpencil seperti ini, rata-rata kamar mandi memang terpisah agak jauh dari rumah.

Di luar, jalan utama kampung masih senyap. Beberapa perempuan lanjut usia tampak keluar rumah untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah.

Entah sudah berapa bulan lamanya, potongan tulisanku yang ini tak pernah sanggup aku selesaikan. Awalnya, aku berkeinginan untuk membangun realitas tentang indahnya hidup di desa dengan segala kesahajaan dan keberadabannya. Tak penting maksud tulisan ini akan ke mana. Sebab, aku hanya ingin memilih untuk bahagia, meski sebenarnya aku tengah vis a vis dengan segala citra global yang selama ini dekat dengan modernisme, kosmopolitan, dan permisif.

Sepertinya, aku memang harus mengawali semuanya. Desa yang kumaksud tentu bukan desa harfiah yang banyak dikelilingi sawah menghampar, gunung tinggi yang sopan, kebersamaan yang dirindukan, feodalitas yang tak jumawa, atau komunikasi yang berdedikasi. Desa di alam pikirku adalah senyum tulusku untuk ingar-bingar konflik horizontal, tanda aku perlu menyambanginya, meski tidak serta-merta menyelesaikannya. Desa di benakku adalah tawa ceriaku untuk kebencian antarsesama atas apa pun, tanda aku wajib menyapa mereka, meski tidak serta-merta menenangkannya. Desa yang kudamba adalah kenyamanan jalan hari-hariku yang benar-benar berarti.

Sepinya desa yang kuinginkan mewajarkan perlunya merenung, tanpa ada eksekusi baik-buruk terus-terusan atas semua ulahku yang kadang tak proporsional. Ia memaklumi semua alpaku, andai aku tak tetap di jalur yang benar. Ia mengerti kecemburuanku atas dominasi sesuatu, yang bisa jadi membuatku tak tenang. Ia menjelaskan kegigihanku untuk pada temponya, agar tidak terburu nafsu dan bahkan, kehilangan daya. Sebab, semua hal ada tahapannya.

Jamaah Subuh yang kuadukan pada semua orang adalah inginku tentang ketaklukanku atas pentingnya menyimpan ego generasi; bahwa aku jelas membutuhkan kebersamaan, meski barangkali semuanya belum tampak nyata. Ya, Subuh menjembatani ideku di malam hari dengan kenyataan di siang hari. Dengan Subuh, aku tak tergopoh-gopoh menyongsong hari, hanya karena aku tak sempat merencanakan semuanya. Dengan Subuh, aku tak melulu berkutat pada ide melangit, karena sebentar lagi, setelah Subuh, aku akan berhadapan dengan hari yang sesungguhnya, dengan segala dinamika yang terkadang, menyesakkan. Kalau aku bisa berdamai dengan kenyataan, jauh sebelum semua hal terjadi, aku tentu tak akan kebakaran jenggot, andai mungkin, semua tak sesuai yang diinginkan.

Perempuan lanjut usia yang kuingin adalah tentang akhir dunia; bahwa kefanaan adalah harga mati untuk realitas materi. Untuk menjalani hidup, kesadaran tentang akan berakhirnya semua ini jelas tak dapat dipandang sebelah mata. Aku mendamba ketuaan dini yang mengingsutkan semua hawa eksistensiku ke ranah yang benar; supaya aku tak lagi gampang jenuh karena sesuatu, hanya karena aku tak direstui.

Di mataku, dunia ini memang tampak sangat pekat. Aku tetap khawatir, benarkah banyak orang baik di sana? Benarkah manusia tidak merendahkan manusia lain? Benarkah tak ada dengki? Benarkah tak ada penolakan atas kebenaran? Benarkah seseorang akan sulit menghargai orang lain? Benarkah kesan verbal tak terlalu penting? Benarkah kenyamanan sanggup tegak di atas kompensasi? Benarkah….

Aku meradang karena usahaku untuk memahami dunia ternyata sulit berbanding lurus dengan apa yang terjadi di depanku. Walau aku dapat mengerti, jiwaku tak bisa tenang. Kontradiksi ini justru menyiksa hari-hari dan tidur malamku. Resistensi ini wajib menempatkanku pada ‘menahan diri’ yang habis-habisan. Mengapa tak gampang-gampang saja memanjakan diri? Aku memang terlalu serius, tapi kalau manusia harus mengangkangi eksistensi orang lain, tentu itu lebih serius. Aku tak habis pikir, mengapa itu bisa terjadi. Seharusnya, tak harus selalu seperti itu, kan? Mengapa tetap saja selalu begitu?

Salahku tampak mengejar-ngejarku, bukan karena aku tak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Aku tersiksa justru berusaha mendamaikan apa yang kupahami benar di satu sisi, dengan kenyataan yang sebenarnya tak terlalu benar di sisi lain. Banyak kompromi yang dapat kupahami dan kujalankan, tapi sangat merepotkan. Sekali lagi, aku tak tenang karenanya. Mengapa bisa begitu?

Kalau dibuat sederhana, barangkali kalimat lugas lebih menolong. Mengapa tak aku sampaikan saja kalau aku tidak berkenan? Mengapa tak aku katakan saja kalau mengerti itu ternyata menyakitkan?

Heh… pantasnya, aku perlu sadar, mengapa aku sering katakan kata mengapa? Ha ha… mengapa aku menjadi takut-takut? Mengapa aku ngeri dengan hal baru? Mengapa aku takut kalah? Ya… mengapa?