Waktu menunjuk pukul 03.00 sore….
Aku di atas Kereta Api Pramex arah Jogja, dari Solo. Kereta penghubung antarkota jarak pendek yang sangat diminati. Bagaimana tidak? Sekian lama aku menjadi penumpang setia Pramex, jarang sekali aku mendapatkan jatah tempat duduk. Selalu saja penuh.
Dan tak ada gunanya mengeluh, lantaran separah-parahnya Pramex, moda transportasi ini masih lebih baik, bila dibandingkan bus atau mengendarai kendaraan pribadi. Perjalanan hanya ditempuh selama satu jam, berbeda dengan bus atau kendaraan pribadi yang bisa dua kali lipat lamanya.
Seperti biasa, bersama sebagian penumpang lain, aku duduk di lantai Pramex. Berdekatan dengan pintu, agar mudah saat keluar dari kereta. Sungguh tak nyaman.
Tak jauh dari tempat aku duduk, seorang Bapak, sepuluh tahunan lebih tua dariku, bersama anak laki-lakinya. Usia sang anak sekitar lima tahun. Tampaknya, mereka bukan penumpang kronis, sepertiku. Kalau tak sesekali pernah menumpang Pramex, bisa jadi mereka terpaksa memilih Pramex, lantaran kendala teknis, seperti penjemputan bermasalah, atau perjalanan mereka yang menemui hambatan.
“Yah, itu namanya apa?” tanya si anak, menunjuk rel yang melintang bersebelahan.
“Itu namanya rel kereta api,” jawab si ayah dengan nada lembut.
“Kok panjang ya, Yah?”
“Iya. Soalnya, buat antar penumpang ke mana-mana.”
“Penumpangnya banyak ya, Yah?”
“Iya. Kan dari mana-mana.”
“Kalau penumpangnya banyak, keretanya jadi berat ya, Yah.”
Aku tersenyum. Pembicaraan anak dan ayah itu seperti menyeka keringatku yang deras mengalir di tubuhku, lantaran sesaknya kereta. Sejuk rasanya melihat paras si anak yang tak takut sedikit pun untuk tahu lebih banyak. Tentang apa pun.
Terasa nyaman hingga ke sanubari, melihat ayah dan anak yang akrab dan saling jujur. Suara berisik rel tertimpa roda kereta api, berderit bersama gerbong yang sebagian tak terurus, menguap bersama saujana persawahan hijau di luar kereta. Teduh.
Aku teringat Bapak. Seumur hidup, beliau tak pernah memarahiku. Ia selalu berbinar, setiap kali bertemu denganku, sejak aku belia, hingga uban telah merata di kepala beliau. Aku tak tahu persis, mengapa bisa begitu. Yang aku tahu, setiap kali bertemu dengan orang, ia terus mengenalkanku dan membanggakanku, dengan kepala tegak. Seperti tak ada jemunya.
Bapak menyapa orang lain dengan kalimat, “Ini jagoanku.” Bukan kebetulan—barangkali—kalau itu sepadan dengan kalimat orang-orang Barat yang suka menyebut anak laki-lakinya dengan ‘Tiger’. Selanjutnya, sangat gampang ditebak. Beliau pasti akan bercerita banyak tentang aku, seperti lupa bahwa ia pun memiliki kehidupan sendiri.
Aku tidak seperti si anak di kereta yang terus bertanya pada ayahnya. Sebab, sejak kecil, aku tahu, menanyakan sesuatu yang tidak diketahui Bapak, hanya akan membuatnya sedih. Ya, Bapak tak mengecap bangku sekolah sama sekali. Ia bahkan tak dapat membaca. Sejak kecil, ia hidup terlunta-lunta dari satu tempat ke tempat lain, hanya untuk makan dan mengisi hidup.
Meski begitu, sejak aku belum dapat membaca, beliau terus membawakan buku dan majalah bekas ke rumah. Entah apa maksudnya. Buku dan majalah itu terus menggunung, diikat rapi oleh Bapak. Maklum saja, Bapak tidak tahu cara merawat buku. Bila tahu, barangkali, ia akan membuat rak atau lemari khusus, agar buku lebih terawat.
Hingga saat aku dapat membaca, sebagian waktuku habis untuk melahap buku dan majalah bekas yang dikumpulkan Bapak. Saat aku tahu, Bapak tidak dapat membaca, aku tak pernah punya keinginan sedikit pun untuk menanyakan apa yang tidak aku mengerti dari bacaan yang ia kumpulkan itu kepada beliau.
“Besok kalau besar, kamu jadi Sarjana Pertambangan, ya? Gajinya 9,5 juta,” ujar Bapak suatu waktu.
Lebih mirip doa, sebenarnya. Ia mengucapkannya dengan tatapan yakin, tak ragu sedikit pun.
Waktu itu aku masih balita. Terang saja aku tak mengerti ucapan Bapak. Dan setelah bertahun kemudian, aku menjadi tahu, kalau Bapak juga tak begitu paham, apa itu Sarjana Pertambangan.
Namun jelas aku bisa menangkap keinginan luhur Bapak untuk menyekolahkanku setinggi yang ia mampu. Bagi beliau, tak penting apa arti Sarjana Pertambangan, atau angka 9,5 juta. Beliau hanya yakin, bahwa dengan memberikan pendidikan terbaik untuk anaknya adalah hal mulia yang harus ia perjuangkan mati-matian.
Bapak tengah merenda kehidupan lebih baik yang bertumpu padaku, dengan bekal pendidikan terbaik, yang akan ia upayakan. Cita-cita mulia yang beliau mulai dari setumpuk-dua tumpuk buku dan majalah bekas. Mimpi tentang pendidikan bermartabat yang bermula dengan sebutan ‘jagoan’ buatku.
Semua orang memiliki cerita sendiri tentang indahnya kebersamaan. Semua orang mengalami banyak hal menarik, yang sangat layak disampaikan kepada siapa pun. Sebab, terkadang, hanya tempat dan waktunya yang berbeda. Sementara kisahnya tak jauh berbeda. Tentang kesan pertama terbaik yang menginspirasi seumur hidup. Tentang perhatian sederhana yang dapat membentuk kesungguhan. Tentang berian tak tampak yang kemudian menjadi semangat tak berkesudahan untuk berbagi. Atau pun tentang yang lain.
Yogyakarta, 09 Januari 2013